Guru Relawan Akhir Pekan

>> Senin, 14 Oktober 2013



Tiap Sabtu pagi saya berjumpa dengan mereka. Tersenyum, tertawa, bermain dan menyanyi bersama. Saya adalah guru temporer mereka. Guru menyanyi. 


Beberapa minggu yang lalu, saya menerima tawaran untuk menjadi guru relawan yang ditugaskan untuk mengajar paduan suara di salah satu sekolah dasar negeri di Surabaya. Kebetulan sekali jadwal saya di hari Sabtu pagi seringkali luang. Saya juga merasa bahwa tawaran ini adalah kesempatan besar bagi saya untuk mengajarkan musik pada anak-anak. Mengajar anak-anak adalah salah satu impian pengalaman yang harus saya punyai. Selama ini saya sudah banyak mengajar siswa SMA, mahasiswa dan ibu-ibu. Kini lengkap sudah pengalaman saya mengajar berbagai usia. Dari usia dini hingga usia lanjut. Hehe.

Program ini adalah salah satu program yang dicanangkan oleh ibu walikota Surabaya dalam rangka peningkatan kegiatan seni pada sekolah dasar di Surabaya. Program ini kemudian ditindaklanjuti oleh Dinas Pariwisata Surabaya sebagai pihak pelaksana. Setiap sekolah dasar negeri di kawasan pinggiran ditawari oleh Disparta untuk memilih program kesenian yang hendak dikembangkan. Program kesenian yang bisa dipilih antara lain: paduan suara, pianika, tari, dll. Disparta kemudian mencarikan guru-guru untuk mereka.

SD Negeri Medokan Semampir I Surabaya adalah tempat saya ditugaskan. Sekolah yang merupakan sekolah satu atap dengan SMP Negeri 52 Surabaya ini memilih untuk ingin punya paduan suara di lingkungan mereka. Karena keterbatasan ruang, kelas kami berpindah-pindah. Kadang memakai ruang kelas mereka, kadang pinjam ruang kelas milik SMP. 

Saya sangat bersyukur karena sekolah ini masih menyimpan alat yang bisa membantu saya mengajar, keyboard. Saya tidak tahu keyboard itu ada sejak kapan, yang pasti masih bisa dipakai walau keadaanya sudah cukup memprihatinkan. 


Materi saya adalah pengenalan menyanyi dan musik pada anak-anak. Saya banyak mengacu pada metode Kodaly. Metode ini adalah salah satu metode pengajaran musik pada usia dini dan sangat populer. Yang belum tahu, sila google. 

Kami belajar solfege, ritme, melodi, ear training, harmoni dasar, dan instrumen terdekat mereka - vokal. Tentunya materi ini saya sampaikan dengan cara anak-anak. Bermain. Tepuk tangan, pukul meja, imajinasi, meniru bunyi-bunyian, tebak-tebakan, dll. Kelas kami cukup menyita perhatian kelas lain. Banyak siswa dari kelas lain menonton dari pintu dan jendela. Sehingga suasana kelas semakin ramai dan hingar. 

Materi lagu saya ambil dari buku-buku pelajaran mereka. Hymne Guru, Indonesia Pusaka, Twinkle-Twinkle. Saya juga kenalkan mereka pada lagu rakyat Surabaya - Rek Ayo Rek. Saya aransemen semua lagu tersebut menjadi dua suara dan agar cocok dengan kemampuan anak-anak. 

Saya senang mereka kini sudah bisa membedakan antara suara nyanyi (singing voice) dan suara bicara (speaking voice). Kini mereka tak lagi teriak saat menyanyi. Mereka anggap saya adalah guru mereka yang hadir tiap Sabtu pagi. Dan di sinilah saya baru merasakan tangan saya dicium sebagai guru tatkala mereka ketemu saya di koridor sekolah. 

Saya akan mengajar mereka hingga akhir November. Harapan saya sederhana saja: anak-anak senang menyanyi. Saya yakin jika mereka telah menemukan kesenangan, kelak mereka akan menggali lebih dalam kesenangan mereka, yang pada akhirnya mereka nanti akan tahu mengapa musik itu perlu. 


Read more...

Sigulempong

>> Kamis, 26 September 2013



Sigulempong adalah lagu rakyat suku Batak Toba, Sumatera Utara. Berdasar informasi dari teman saya, Paul Ferdinan Haposan Nainggolan, putra daerah asli sana, bahwa secara tradisi lokal kata 'sigulempong' diucapkan 'siguleppong' dengan menggunakan konsonan p. Kata 'sigulempong' sendiri tidak memiliki makna spesifik. Hanya saja lagu ini bercerita tentang kearifan lokal budaya setempat tentang pentingnya mengenal asal usul keluarga calon pasangan suami istri yang hendak menikah. Konon, beberapa marga dan boru punya jodohnya masing-masing. 

Pertama saya ingin berterima kasih pada Paul. Saya menyusun aransemen lagu ini banyak dibantu olehnya. Ia mengenalkan saya pada perkusi tradisional suku Batak yang biasa disebut Gondang Sambilan di gereja tempatnya bersembayang, Gereja HKBP Manyar, Surabaya. Ada 9 jenis tetabuhan dengan ukuran berbeda yang masing-masing memiliki karakter bunyi yang unik. Di sana, alat musik pukul itu dilestari-dan-budayakan dengan baik. Di sana pula saya tahu tentang tulila. Alat musik tiup tradisional seperti seruling bambu yang bunyinya syahdu dan aduhai. Bunyi-bunyian dua alat musik ini yang akhirnya saya imitasi untuk menyusun aransemen Sigulempong. 

Versi aransemen Sigulempong untuk paduan suara yang paling populer adalah karya komponis almarhum Lilik Sugiarto. Aransemennya telah banyak dinyanyikan oleh berbagai paduan suara dari dalam dan luar negeri. Saya dulu juga sempat menyanyikannya semasa gabung dengan Paduan Suara Gita Smala. 

Aransemen saya ini mungkin bisa jadi alternatif bentuk aransemen paduan suara. Berikut beberapa paduan suara yang pernah menampilkannya dan yang saya temukan di internet. Semoga suka. :)

Sigulempong dinyanyikan oleh Paduan Suara Mahasiswa ITS.



Sigulempong dinyanyikan oleh Paduan Suara Gita Nada, SMA Negeri 1 Gresik.


Sigulempong dinyanyikan oleh Paduan Suara Mahasiswa IAIN Sunan Ampel, Surabaya.




Teman-teman paduan suara yang ingin mendapatkan partitur lagu ini untuk ditampilkan, bisa menghubungi email saya di irwanto[dot]laman[at]gmail[dot]com dengan mencantumkan nama paduan suara yang hendak memakainya. Gratis. :)

Suatu hari saya juga ingin aransemen lagu rakyat Batak lain. Terutama yang berasal dari Tanah Karo. 

Read more...

Hymne Politeknik Pelayaran Surabaya

>> Senin, 23 September 2013



Beberapa waktu yang lalu saya diberi kesempatan membuat lagu untuk institusi tempat saya bekerja. Senang rasanya karena saya bisa berkarya dalam urusan musik. Urusan yang sepenuhnya melibatkan kesenangan.


Lagu yang saya buat dinamai Hymne Politeknik Pelayaran Surabaya dan telah diresmikan sebagai hymne institusi pada upacara beberapa waktu lalu. Tempo hari saya baru tahu bahwa lagu ini dinyanyikan setiap hari, setiap kali apel pagi oleh seluruh taruna sebelum segala aktivitas ketarunaan dimulai. Mulanya saya kira hanya untuk kegiatan resmi seremonial. 

Layaknya sebuah lagu 'rakyat', hymne saya susun agar bisa dinyanyikan oleh semua kalangan. Itu sebab melodi yang saya rancang sedapat mungkin gampang diingat dan dijangkau kemampuan vokal normal rata-rata. Dalam versi paduan suara, awalnya lagu ini dibuat untuk keperluan paduan suara laki-laki, karena paduan suara yang kelak menyanyi di kemudian hari hanya melibatkan penyanyi laki-laki. Sekolah ketarunaan ini memang memiliki taruna perempuan dalam jumlah yang sangat terbatas dari tahun ke tahun. 

Berikut adalah rekamannya. Dinyanyikan oleh Irfan Zidni (sekretaris batalyon), taruna DP IV angkatan 25.






Untuk partiturnya, sementara belum saya unggah untuk bisa diunduh. Laptop tempat menyimpan berkasnya sedang bermasalah dan butuh servis. :)

Read more...

Pak Pos: Smart Correspondence System

>> Jumat, 15 Februari 2013



This system is successfully implemented by International Office ITS, Surabaya.

Read more...

I M P R E S S I O N !

>> Kamis, 20 September 2012




Read more...

The Chorister 2012

>> Sabtu, 19 Mei 2012



Ini proyek senang-senang, bukan iseng. Atas asas bernyanyi adalah bersenang-senang, lahirlah The Chorister. Para biduan berbakat yang terlibat dalam proses kelahiran kelompok ini, tahu cara menjadikan paduan suara sebagai tempat untuk mencari kesenangan dan merayakan hidup. Menyanyi bukanlah profesi, melainkan suatu gaya hidup. Para profesional muda Surabaya, dari beragam latar belakang profesi, satu kesamaan mereka: ambisi musikal yang tinggi.

Poster Iklan Konser The Chorister 2012
Tahun 2012 merupakan tahun konser pertama sekaligus tahun kelahiran The Chorister. Walaupun masih berupa benih, cita-citanya patut untuk diapresiasi: memberikan edukasi musik paduan suara pada masyarakat, terutama pada mereka yang sedikit pemahamannya akan musik paduan suara. Sementara bagi masyarakat pecinta musik paduan suara, bisa jadi kehadiran The Chorister akan memperkaya khazanah musik vokal ensambel di Surabaya. 

Dengan tema menampilkan karya-karya sederhana dari era Palestrina sampai era Lady Gaga, konser yang berlangsung tanggal 12 Mei kemarin, saya nilai cukup sukses. Masyarakat 'awam' yang menjadi target pasar dibenturkan dengan dua nama komposer beda zaman sekaligus. Palestrina mungkin terdengar cukup asing. Yang satu lagi sudah tentu telah jadi hingar bingar di telinga. Keduanya sama-sama berbakat. Musiknya memiliki pengaruh luas bagi dunia. 

Konser malam itu dibuka dengan karya indah Dum Aurora Finem Daret dari Palestrina dan ditutup dengan sebuah karya energik penuh warna Paparazzi dari Lady Gaga yang membersitkan angan-angan dan lamunan impresionistik.

Sebagai konduktor di tahun pertama ini, besar harapan saya agar di masa depan The Chorister tetap bertahan dan membuka kesempatan bagi siapa saja yang ingin berkarya musik dalam wadah The Chorister. Tidak menutup kemungkinan bagi para konduktor dan komposer muda lainnya  untuk ikut terlibat dalam mengasah bakat bermusiknya melalui program konser periodik yang akan digelar di tahun-tahun mendatang.
"Ukuran sukses adalah seberapa lebar senyum pascakonser, lambang kepuasaan kami."
Saya sepakat bahwa kesuksesan konser tidak diukur dari seberapa banyak jumlah kursi yang terjual atau semeriah apa riuh tepuktangan dan jerit-jerit pengunjung. Karena kalau boleh saya katakan, untuk di Indonesia, hal-hal semacam ini masih seringkali manipulatif. Walaupun pada faktanya, empat hari menjelang konser, tiket mereka telah terjual habis. :)

Ukuran kepuasan adalah subyektif.  Selama segalanya dilakukan dengan senang dan sepenuh hati, saya rasa akan menimbulkan rasa puas pada akhirnya. Setidaknya bagi pelaku pertunjukan itu sendiri. Di sisi lain, pertunjukan seyogianya dan sebisa mungkin berusaha untuk memenuhi ekspektasi penonton. Bagaimanapun juga, kepuasan pasar adalah nilai tambah yang tidak boleh diabaikan. Jika memakai pendekatan ini, konduktor ada baiknya tidak 'egois' dalam penyusunan repertoar konser. Ini bukan perkara selera musik. Perbincangan tentang hal yang satu ini memang tidak akan pernah beres.

Karena kesibukan profesi masing-masing selama hampir lima bulan, proses latihan berlangsung seminggu sekali tiap akhir pekan dan tak memakan waktu lebih dari dua jam, serta hampir tidak pernah utuh satu tim. Masalah klasik paduan suara amatiran. Namun demikian, kualitas bunyi mereka boleh saya bilang tidak jauh dari kesan paduan suara profesional.

Atas keterselenggaraan konser ini, selaku konduktor mewakili teman-teman The Chorister 2012, saya mengucapkan banyak terima kasih kepada: Paduan Suara Mahasiswa ITS, atas gedung pertunjukan dan segala fasilitas yang nyaman; Koko Hermon Sumilat, atas segala hal yang telah diberikan, dari hal paling kecil sampai yang paling besar; Mas Budi Susanto Yohanes yang memberi ijin atas karya-karyanya untuk kami bawakan; Bapak Prof. Indropo Agusni, atas makan malam yang selalu disediakan saat latihan; Ibu DR. R. A. Retno Hastijanti, atas dasi kupu-kupu yang keren dan makan siang saat sesi pemotretan poster; Istianah Suhartati, atas bantuan menyunting foto, serta Herry Purnomo atas fotografi yang oke. Semesta yang membalas segala kebaikan.
"THE CHORISTER adalah paduan suara yang dilandasi cinta yang besar dalam bermusik dan berkarya, ditandai tidak hanya oleh ambisi musikal yang tinggi, tetapi juga dengan interaksi sosial yang dekat dan hangat. Selalu ada hati di akhir pekan untuk latihan bersama."
Sebelum tampil babak 1. Tiga biduanita hilang. 
Saya masih menantikan kajian dan kritik musikal yang lebih komprehensif atas konser ini demi perbaikan di masa depan.

Read more...